KONFLIK KEPENTINGAN DAN BUDAYA POPULER
A. KONFLIK
KEPENTINGAN
Bila seseorang
menerima hibah, uang, honor, gaji dari seseorang/badan, yang tidak mempunyai
niat baik dan akan dipakai sebagai alat memperlebar kekuasaan atau niat tidak
hormat lainnya, seperti untuk memperoleh keuntungan lebih besar melalui tangan
– tangan yang mempunyai kekuasaan birokrasi, maka ini disebut conflict of interest. Konflik
kepentingan merupakan isu akuntabilitas.
Karena komunikasi identik dengan
kepentingan, atau karena setiap sistem dan proses komunikasi mengisyaratkan kepentingan. Tidak sedikit pakar yang
berkeyakinan terdapatnya “ideologi” sebagai landasan komunikasi. “Ideologi”
komunikasi punya bermacam performance.
Performance “ideologi” komunikasi
diuraikan terdahulu, mendorong pakar komunikasi memiliki sikap yang mendua
dalam mengkaji proses komunikasi. Artinya, jika terjadi konflik kepentingan
sebagai akibat berlangsungnya proses komunikasi tertentu, pakar komunikasi
umumnya akan memandang fenomena itu sebagai hal yang biasa terjadi.
B. PENGERTIAN KONFLIK
Robbins
(1996), dalam “Organization Behavior” menjalaskan bahwa konflik adalah suatu
proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat
(sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh
positif maupun negatif. Sedangkan menurut Luthans (1981), konflik adalah
kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan.
Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri
diterjemahkan dalam beberapa istilah, yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan
permusuhan.
Konflik
bersumber pada keinginan, maka perbedaaan endapat tidak selalu berarti konflik.
Persaingan sangat erat hubungannya dengan konflik karena dalam persaingan
beberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin
mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah menjurus
kearah konflik, terutama bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara yang
bertantangan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena
orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki rasa permusuhan.
Sebaliknya, orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak berada dalam keadaan
konflik.
C. JENIS-JENIS
KONFLIK
Menurut
James A. F. Stoner, dikenal ada lima jenis konflik, yaitu konflik
intrapersonal, interpersonal, antar-individu dan kelompok, antar kelompok dan
antar organisasi.
Konflik
intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi
bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin
dipenuhi sekaligus. Dalam proses adaptasi seseorang terhadap lingkungannya
sering kali menimbulkan konflik. Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal,
yaitu :
a.
Konflik
pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang
sama-sama menarik.
b.
Konflik
pendekatan-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang
sama menyulitkan.
c.
Konflik
penghindaran-penghindaran, cntohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang
mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.
Konflik
interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena
pertentangan kepentingan dan keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang
yang berbeda status, jabatan, bidang kerja, dan lain-lain. Konflik
interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku
organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari
beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan memenuhi proses
pencapaian tujuan organisasi tersebut.
Konflik
antar-individu dan kelompok seringkali
berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai
konfirmitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka. Konflik
antara kelompok dalam organisasi yang sama merupakan tipe konflik yang banyak
terjadi di dalam organisasi-organisasi. Konflik antar lini dan staf, pekerja
dan pekerja-manajemen merupakan dua macam bidang konflik antar kelompok.
Sedangkan, seperti dibidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara
lain dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan
persaingan atau konflik antara organisasi.
D. PENGERTIAN
KONFLIK KEPENTINGAN
Menurut
Wikipedia, konflik kepentingan adalah
suatu keadaan sewaktu seseorang pada posisi yang memerlukan kepercayaan,
seperti pengacara, politikus, eksekutif atau direktur suatu perusahaan. Konflik
kepentingan menyebabkan benturan antara loyalitas profesional dan kepentingan
lain yang akan mengurangi kredibilitas agen moral. Konflik kepentingan akan
mendorong kita untuk berbuat tidak jujur dan tidak adil. Misalnya, seseorang
menteri yang menangani kasus kenaikan harga kedelai tentu akan mengalami
konflik kepentingan jika pada saat yang sama ia adalah pemilik dari perusahaan
pengimpor sembako, begitu juga jurnalis yang melakukan investigasi korupsi akan
menghadapi dilema kepentingan jika kemudian salah satu keluarganya ternyata
terlibat korupsi tersebut.
Jeffrer
Olen dalam bukunya Ethics in Journalism malah
mengatakan bahwa adopsi media soal peraturan-peraturan untuk menghilangkan
konflik kepentingan adalah bukan hanya untk memaksimalkan jangkauan audiens,
tapi jurnalis memang secara mendasar memiliki kewajiban moral untuk dapat
dipercaya.
Salah
satu problem utama dalam menghilangkan konflik kepentingan adalah keterlibatan
struktur pada level tinggi. Avin day mencontohkan pada media, konflik
kepentingan justru muncul dari perusahaan besar yang notabene adalah pengiklan
di media yang bersangkutan ketika perusahaan tersebut menjadi subjek media.
E. SUMBER KONFLIK KEPENTINGAN
Jika
kita ingin menghindari konflik atau paling tidak menguranginya, maka kita harus
mengetahui sumber konflik kepentingan. Riset menunjukan bahwa konflik mempunyai
beberapa penyebab, dan secara umum dapat dibagi kedalam tiga kategori :
perbedaan komunikasi, struktural, dan kepribadian.
Perbedaan
komunikasi adalah perselisihan yang timbul dari kesulitan semantik,
kesalahpahaman bahasa, diskomunikasi, atau juga comuncation-overload. Orang-orang sering berasumsi bahwa kebanyakan
konflik disebabkan oleh ketiadaan komunikasi, tetapi seorang penulis mencatat,
ada kecenderungan bahwa komunikasi yang berlebihan sering justru akan
mengakibatkan konflik.
Sumber
yang kedua adalah karena adanya perbedaan struktural. Setiap organisasi
perusahaan pasti memiliki struktur, baik secara horizontal maupun vertikal.
Perbedaan struktural ini acap kali menciptakan masalah pengintegrasian dan
ujung-ujungnya mengakibatkan terjadinya konflik kepentingan. Konflik ini muncul
dari struktur organisasi itu sendiri. Sumber konflik yang ketiga adalah adanya
perbedaan kepribadian. Faktor-faktor seperti perbedaan latar-belakang,
pendidikan, dan pengalaman, membentuk masing-masing individu kedalam suatu
kepribadian yang unik. Dalam kacamata komunikasi, sumber konflik kepentingan
yang utama adalah:
Hubungan yang
menimbulkan konflik (conflicting
relationships), tentu sulit bagi
seseorang untuk mengabdi pada dua tuan. Inilah yang terjadi bila memiliki dua
hubungan yang sama-sama memerlukan loyalitas serupa. Independensi kita akan
menjadi terbatas. Agen iklan atau praktisi PR misalnya, tugas utamanya adalah
terhadap klien. Namun, jika terjadi konflik kepentingan, maka pelayanan kepada
klien tersebut menjadi terbatas. Contohnya, ketika perusahaan PR menangani
klien dari perusahaan perminyakan, namun pada saat yang sama ia juga memiliki
klien dari organisasi pelestarian lingkungan. Tentu hal ini akan menimbulkan
konflik kepentingan.
Pemberian dan
hadiah (gifts and perks), praktisi
komunikasi bertanggung jawab terhadap audiensnya, dan jika ia menerima hadiah,
cendera mata dan pemberian lain yang mengandung kepentingan tersembunyi (vested interests), maka hal tersebut
akan memunculkan keraguan terhadap obyektivitas praktisi komunikasi tersebut.
Checkbook
Journalism, terjadi ketika media membayar
narasumber, sehingga media yang bersangkutan akan memperoleh hak eksklusif
untuk menampilkan narasumber tersebut. Checkbook
jurnalism menjadi sorotan etis karena terjadi pertentangan konflik, sebagai
akibat adanya kendali dari pihak tertentu (narasumber) dalam tampilan pesan.
Hubungan
personal,
bagaimanapun praktisi komunikasi juga manusia yang
niscaya mengembangkan hubungan sosial, tak terkecuali dengan klien. Maka akan
sulit jika kemusian ia harus
mengkomunikasikan pesan yang bersinggungan dengan seseorang yang memiliki
hubungan personal. Maka, dalam konteks ini bisa dipahami bahwa sejumlah
organisasi/perusahaan menerapkan larangan adanya kedekatan famili diantara
karyawan.
Partisipasi
publik, dilema konflik kepentingan juga muncul
dari kenyataan bahwa praktisi komunikasi juga bagian dari publik secara umum.
Dengan demikian, ada interaksi antara dirinya dengan masyarakat dimana ia
berada.
F. MEDIA
DAN KONFLIK KEPENTINGAN
Konflik
kepentingan pada media terkait dua pihak, yakni penguasa dan pengusaha. Media
yang berafiliasi atau dimiliki oleh pengusaha atau pejabat tertentu pasti
memiliki konflik kepentingan, yakni apakah akan berpihak kepada publik ataukah
berpihak pada penguasa/pengusaha yang notabene
sebagai pemilik. Jika media massa dibiarkan menjadi aparatus kekuatan
sosial-politik, maka seluruh materi pelayanannya akan senantiasa harus
dikonfirmasikan terlebih dahulu dengan berbagai interest politik dari politik yang bersangkutan. Akibatnya,
keunggulan media tersebut akan bersifat subordinated
dengan pamrih politik. padahal, antara keduanya secara hakiki sangat
berbeda.
Pelayanan
media massa bersifat sosial, bukan politik. Sebaliknya, pelayanan politik
bersifat politik, bukan sosial. Bila pelayanan media bersifat politik, maka
muatan politik didalamnya hanyalah berfungsi sebagai variabel antara. Artinya, pembentukan atau perubahan
kognisi, afeksi maupun konasi politik lewat media massa, tidak dengan
sendirinya terealisasi, kecuali setelah melampaui berbagai proses sosial.
Sebaliknya, jika media massa terperangkap oleh kepentingan politik praktis,
kinerjanya akan lebih bersifat monoton. Ini disebabkan, karena terlalu
dominannya misi politik, yang dipikulkan dipundak media.
Disisi
lain, media massa yang tidak menjadi aparatus politik, akan lebih mampu
memenuhi dan menciptakan selera publiknya. Tak lain karena beban politik
praktis yang dipikulnya, nyaris sangat kurang, kalau tidak boleh dibilang nihil.
Pengalaman menunjukkan, media yang terlampau
dibebani berbagai misi politik, mengakibatkan kreativitas pelayanannya
terkooptasi oleh berbagai kepentingan diluar kerangka profesionalismenya. Misi
politik dalam kebijakan redaksi, ataupun yang terkait pada pola dan format
siaran media massa cetak serta elektronik, akan mempersulit pengelolaan media
yang bersangkutan dengan gaya santai, dalam arti tidak membutuhkan berbagai
analisis persepsional serius, sebagaimana kecenderungan keinginan rata-rata
publiknya.
Fenomena konglomerasi industri media merupakan
krisis lain dari demokratisasi media yang bisa melemahkan fungsi kontrol media
dalam upaya membangun masyarakat mandiri karena berkembang biaknya bisnis
industri pers rawan menimbulkan konflik kepentingan. Karena media tidak lagi
kritis, maka semakin sedikit kepentingan publik yang diangkat oleh media massa
“mainstream”. Padahal, pers harus meningkatkan fungsi kontrol sosialnya, agar
penyimpangan-penyimpangan yang merugikan rakyat tidak terjadi lagi
Ashadi Siregar mengatakan bahwa keberadaan media
massa perlu dilihat dalam konteks epistemologis, dengan melihat jurnalisme
sebagai suatu susunan pengetahuan dalam menghadapi realitas sosial. Dengan adanya
jurnaisme, maka dikenal media jurnalisme yang dapat dibedakan dengan genre
media massa lainnya. Media massa jurnalisme mengutamakan informasi faktual
berkonteks kehidupa publk, berbeda dengan media massa hiburan yang mengutamakan
informasi fiksional berkonteks kehidupan privat.
Ashadi mengatakan orientasi jurnalisme pada dasarnya
bertolak dari dua sisi, pertama bersifat teknis berkaitan dengan stadar kelayakan berita (newsworthy), dan kedu abersifat etis dengan standar normatif dalam
menghadapi fakta-fakta. Hal pertama merupakan resultan dari dorongan
kepentingan pragmatis khalayak dan pengelola media. Kepentingan pragmatis
khalayak dapat bersifat sosial ataupun psikis. Sementara media dapat mewujud
dalam kaitan politis dan ekonomis.
Dengan kepentingan pragmatis pengelola media,
berakibat pada dinamika media jurnalisme yang tidak menjalankan fungsi
impretatif bagi publiknya, melainkan bertolak dari kecenderungan subyektifnya
sendiri maupun kepentingan subyektif pihak lain yang bukan khalayaknya. Dengan
kata lain, media tidak menjalankan fungdi impretatif sosial, tetapi menjalankan
fungsi organik dari institusi lainnya, seperti institusi politik dan bisnis.
kepentingan media dilihat melalui orientasinya, untuk itu dapat dihipotesikan,
yaitu dengan menjalankan orientasi sosial, maka fungsi imperatif media
jurnalisme akan tinggi, sebaliknya fungsi imperatif ini menjadi rendah jika
media menjalankan orientasi ekonomi-politik. kebijakan dengan orientasi sosial
akan melahirkan kecenderungan obyektivikasi untuk mencapai obyektivitas
informasi, sedangkan dalam orientasi ekonomi-politik dalam proses komodifikasi
yang menghasilkan komoditas ekonomi (bisnis)ataupun politik .
G. PENDEKATAN TERHADAP KONFLIK KEPENTINGAN
Menurut
Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam
penanganan konflik, yakni :
Berkompetisi, tindakan ini dilakukan jika kita mencoba
memaksakan kepentingan sendiri diatas kepentingan pihak lain. Pillihan tindakan
ini bisa sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang
cepat, kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital.
Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan-bawahan, dimana atasan
menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) diatas kepentingan bawahan.
Menghindari konflik, tindakan ini
dlakukan jika salah satu pihak menghidari dari situasi tersebut secara fisik
maupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik yang terjadi.
Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk
mendinginkan suasana, membekukan konflik sementara.
Akomodasi, yaitu jika mengalah dan
mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan
dari situasi konflik itu. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan
pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak
tersebut. Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubugan baik menjadi hal
yang utama disini.
Kompromi, tindakan ini dapat dilakukan
jika kedua belah pihak merasa bahwa kedua hal tersebut sama-sama penting dan
hubungan baik menjadi utama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian
kepentingannya.
Berkolaborasi, menciptakan situasi
menang-menang dengan saling bekerja sama. Jika terjadi konflik pada lingkungan
kerja, kepentingan dan hubungan antarpribadi menjadi hal yang harus kita
pertimbangkan.
Louis
Alvin Day (1996:162), menyodorkan tiga pendekatan untuk mengatasi konflik
kepentingan, yakni :
1. Penetapan
tujuan sedemikian rupa sehingga konflik kepentingan bisa dicegah. Konflik mesti
dicegah dengan menjadikan tugas (duty
based) sebagai koridor tingkah laku praktisi komunikasi.
2. Jika
konflik tidak dapat diantisipasi, setiap upaya hanya harus dikerahkan untuk
mengatasi konflik.
3. Jika
konflik kepentingan tidak bisa dicegah, maka publik atau klien harus mengetahui
akan adanya konflik tersebut. Konsultan PR yang menangani klien dua organisasi
yang bersebrangan misalnya, harus memberi tahu kepada kedua klien tersebut
tentang adanya konflik kepentingan dimaksud. Dengan demikian, akan dicari
langkah-langkah produksi pesan yang menguntungkan kedua klien tersebut.
Karenanya, untuk mengantisispasi agar konflik tidak
terjadi lagi, kita perlu melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Introspeksi,
yakni bagaimana kita biasanya menghadapi konflik, gaya apa saja yang biasa
digunakan, apa saja yang menjadi dasar dan persepsi kita.
2. Mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat. Kita
dapat mengidentifikasi kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai
dan sikap mereka atas konflik tersebut dan apa perasaan mereka atas terjadinya
konflik. Kesempatan kita untuk suskses, dalam menangani konflik semakin besar
jika kita melihat konflik yang terjadi dari semua sudut pandang.
3. Identifikasi
sumber konflik. Sumber konflik sebaiknya dapat teridentifikasi sehingga sasaran
penanganannya lebih terarah kepada sebab konflik.
4. Mengetahui
pilihan penyesuaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar