Kamis, 05 Desember 2013

Teori Penetrasi Sosial



Untuk memahami kedekatan hubungan antara dua orang, Irwin Altman dan Dalmas Taylor (1973) mengonseptuakisasikan Teori Penetrasi Sosial (Social Penetrasi Theory-SPT). Keduanya melakukan studi yang ekstensif dalam suatu area mengenal ikatan sosial pada berbagai macam tipe pasangan. Teori mereka menggambarkan suatu pola pengembangan hubungan, sebuah proses yang mereka identifikasikan sebagai penetrasi sosial. Penetrasi sosial (Social Penetration) merujuk pada sebuah proses ikatan hubungan dimana individu-individu bergerak dari komunikasi superfisial menuju ke komunikasi yang lebih intim. Menurut Altman dan Taylor, keintiman disini lebih dari sekedar keintiman secara fisik, dimensi lain dari keintiman termasuk intelektual dan emosional, dan hingga pada batasan dimana pasangan melakukan aktivitas bersama (West & Turner, 2006). Proses penetrasi sosial, karenanya, mencakup didalamnya perilaku verbal (kata-kata yang digunakan), perilaku nonverbal (postur tubuh kita, sejauh mana kita tersenyum, dan sebagainya), dan perilaku yang berorientasi pada lingkungan (ruang antara komunikator, objek fisik yang ada didalam lingkungan dan sebagainya).

Asumsi Teori Penetrasi Sosial
Sebagian alasan dari daya tarik teori ini adalah pendekatannya yang langsung pada perkembangan hubugan. Meskipun secara sekilas telah disebutkan beberapa asumsi sebelumnya, akan dibahas asumsi-asumsi yang mengarahkan SPT berikut ini :
·         Hubungan-hubungan mengalami kemajuan dari tidak intim menjadi intim
·         Secara umum, perkembangan hubungan sistematis dan dapat diprediksi
·         Perkembangan hubungan mencakup depenetrasi (penarikan diri) dan disolusi
·         Pembukaan diri adalah inti dari perkembangan hubungan

Pertama, hubungan komunikasi antara orang dimulai pada tahapan superfisial dan bergerak pada sebuah kontinum menuju tahapan yang lebih intim. Asumsi kedua dari Teori Penetrasi Sosial berhubungan dengan prediktabilitas. Secara khusus, para teoritikus penetrasi sosial berpendapat bahwa hubungan hubungan berkembang secara sistematis dan dapat diprediksi. Hubungan–seperti proses komunikasi–bersifat dinamis dan terus berubah, tetapi bahkan sebuah hubungan saling dinamis mengikuti standar da pola perkembangan yang dapat diterima.
            Asumsi ketiga dari teori penetrasi sosial ini berhubungan dengan pemikiran bahwa perkembangan hubungan mencakup depenetrasi dan disolusi. Sejauh ini kita telah membahas titik temu dari sebuah hubungan. Akan tetapi, hubungan dapat menjadi berantakan, atau menarik diri (depenetrate), dan kemunduran ini dapat menyebabkan terjadinya disolusi hubungan. Berbicara mengenai penarikan diri dan disolusi, Altman dan Taylor menyatakan kemiripan proses ini dengan sebuah film yang diputar mundur. Sebagaimana komunikasi memungkinkan sebuah hubungan untuk bergerak maju menuju tahap keintiman, komunikasi dapat menggerakan hubungan untuk mundur menuju tahap ketidakintiman. Jika sebuah komunikasi penuh dengan konflik, contohnya, dan konflik ini terus berlanjut menjadi destruktif dan tidak bisa diselesaikan, hubungan itu mungkin akan mengambil langkah mundur dan menjadi lebih jauh. Para teoritikus penetrasi sosial berpikir bahwa penarikan diri sering kali sistematis.
            Jika sebuah hubungan mengalami depenetrasi, hal itu tidak berarti bahwa hubungan itu akan secara otomatis hilang atau berakhir. Seringkali, suatu hubungan akan mengalami transgresi (transgression) atau pelanggaran aturan, pelaksanaan, dan harapan dalam berhubungan. Tara Emmers-Sommer (2003) menyatakan bahwa sebagai transgresi hubungan dapat membantu dalam kegagalan suatu hubungan. Pola berulang yang tidah diinginkan dari konflik yang terjadi pada suatu pasangan. Kita melihat bahwa konflik yang terus berulang memberikan ciri sejumlah tipe hubungan yang berbeda dan bahwa pasangan seara umum belahar untuk hidup dengan konflik-konflik ini. Anda mungkin yakin bahwa koflik atau transgresi hubungan akan menyebabkan disolusi, tetapi penarikan diri tidak srta merta berarti bahwa suatu hubungan sudah hancur.
            Asumsi terakhir menyatakan bahwa pembukaan diri adalah inti dari perkebangan hubungan. Pembukaan diri (self-disclosure) dapat secara umum didefinisikan sebagai proses pmbukaan informasi mengenai diri sendiri kepada orang lain yang memiliki tujuan. Biasanya, informasi yang ada didalam pembukaan diri adalah informasi signifikan. Menurut Altman dan Taylor (1973), hubungan yang tidak intim bergerak menuju hubungan yang intim karena adanya keterbukaan diri. Pembukaan diri membantu membentuk hubungan masa kini dan masa depan antara dua orang dan “membuat diri terbuka terhadap orang lain memberikan kepuasan yang intrinsik”. Pembukaan diri dapat bersifat strategis dan non strategis. Maksudnya, dalam beberapa hubungan, kita cenderung untuk merencanakan apa yang akan kita katakan kepada orang lain.


“Mengupas” Lapisan Hubungan: Analogi Bawang
Altman dan Taylor menyakini bahwa seorang individu dapat dibandingkan dengan sebuah bawang, dengan lapisan-lapisan (berbentuk lingkaran) dari sebuah bawang yang mewakili berbagai aspek dari kepribadian seseorang. Lapisan terluar adalah citra publik (publik image) seseorang, atau yang dapat dilihat orang lain secara langsung. Misalnya, citra publik Jason adalah seorang pria Afro-Amerika pada usia pertengahan 40 tahunan yang mulai mengalami kebotakan dan Elise juga seorang Afro-Amerika tetapi jauh lebih tinggi daripada jason dan berambut pendek. Lapisan citra publik dikelupas ketika jason membuka kepada pasangan kencannya mengenai rasa frustasinya menjadi orang tua tunggal. Elise mungkin membuka bahwa dia juga mengalami kecemasan orang tua tunggal.
            Resiprositas (reciprocity) ini, atau proses dimana keterbukaan orang lain akan mengarahkan orang lain untuk terbuka, adalah komponen utama dalam Teori Penetrasi Sosial. Altman dan Taylor yakin bahwa keintiman tidak dapat diperoleh tanpa adanya resiprositas. Penetrasi dapat dilihat dengan menggunakan dua dimensi: keluasan dan kedalaman. Keluasan merujuk kepada berbagai topik yang didiskusikan  dalam suatu hubngan; waktu keluasan (breadth time) berhubungan dengan jumlah waktu yang dihabiskan oleh pasangan dalam berkomunikasi satu sama lainnya mengenai berbagai macam topik tersebut. Kedalaman (depth) merujuk pada tingkat keintiman yang mengarahkan diskusi mengenai suatu topik. Pada taap awal, hubungan dapat dikatakan mempunyai keluasan yang sempit dan kedalaman yang dangkal. Begitu hubungan bergerak menuju keintiman, kita dapat mengharapkan lebih luasnya topik yang dapat didiskusikan (lebih banyak keluasan), dengan beberapa topik yang mulai lebih mendalam.
            Beberapa kesimpulan penting untuk diperhatikan mengenai keluasan dan kedalaman pembukaan diri. Pertaman, pergeseran atau perubahan dalam pusat lapisan (pada bawang) mempunyai lebih banyak pengaruh daripada yang di bagian luar lapisan. Karena citra publik seorang individu, atau kulit terluar, mewakili segala sesuatu yang dapat dilihat orang lain, atau superfisial, kita dapat menebak bahwa apabila terdapat perubahan pada kulit terluar, konsekuensinya akan minimal. Kedua, makin besar kedalamannya, makin banyak kesempatan bagi seseorang untuk merasa rentan.

Pertukaran Sosial: Biaya dan Keuntungan dalam Berhubungan
Teori Penetrasi Sosial didasarkan pada beberapa prinsip Teori Pertukaran Sosial (Thibaut & Kelley: 1959), teori ini menyatakan bahwa pertukaran sosial melibatkan batuan-bantuan yang menciptakan kewajiban di masa datang dan oleh karenanya membawa sebuah pengaruh mendasar dalam sebuah hubungan sosial. Altman dan Taylor mendasarkan beberapa dari karya mereka pada proses-proses pertukaran sosial: yaitu, pertukaran sumber daya antara individu-individu dalam sebuah hubungan.
Taylor dan Altman (1987) berpendapat bahwa hubungan dapat dikonseptualisasikan dalam bentuk penghargaan dan pengorbanan. Penghargaan adalah segala bentuk peristiwa hubungan  atau perilaku-perilaku yang mendorong kepuasan, kesenangan, dan kebahagiaan dalam pasangan, sedangkan pengorbanan adalah segala peristiwa hubungan atau perilaku-perilaku yang mendorog munculnya perasaan negatif. Secara sederhana, jika sebuah hubungan menyediakan lebih banyak penghargaan daripada pengorbanan, maka individu cenderung bertahan dalam hubungan mereka. Sebaliknya, jika seseorang individu percaya bahwa terdapat lebih banyak pengorbanan ketika menjalani sebuah hubungan, maka disolusi hubungan aka sangat mungkin terjadi. Penghargaaa dan pengorbanan dihubungkan secara konsisten dengan timbal balik kepuasan dalam kebutuhan personal dan sosial.
Untuk memahami hal dengan baik, pertimbangkan dua kesimpulan berikut yang diamati oelt Taylor dan Altman: (1) penghargaan dan pengorbanan memiliki pengaruh yang besar pada awal sebuah hubungan daripada setelah hubungan berjalan lama; dan (2) hubungan dengen sumber pengalaman penghargaan/pengorbanan yang positif lebih mampu untuk mengatasi konflik secara efetif.
Kesimpulan pertama menyatakanbahwa terdapat pengalaman interpersonal yang relatif sedikit dalam tahap awal, menyebabkan individu utuk lebih berfokus kepada sebuah penghargaan atau pengorbanan. Kedua, beberapa hubungan lebih baik dalam mengatur koflik daripada hubungan lainnya. Ketika pasangan berhubungan, mereka mungkin mengalami sejumlah ketidaksepakatan. Selama bertahun-tahun, pasangan menjadi terbiasa untuk mengelola koflik dengan berbagai cara, menciptakan suatu budaya hubungan yang unik yang memungkinkan mereka untuk mengatur konflik dimasa datang.
Secara keseluruhan, hubungan sering kali tergantung pada kedua pihak dalam menilai penghargaan dan pengorbanan. Jika pasangan merasa bahwa terdapat lebih banyak penghargaan daripada pengorbanan, kemungkinannya adalah hubungannya akan bertahan. Jika dianggap lebih banyak pengorbanan daripada penghargaan, hubungan mungkin akan melemah. Akan tetapi, ingatlah masing-masing dari pasangan tidak akan melihat sebuah masalah secara sama; sebuah pengorbanan bagi individu mungkin dilihat sebagai seuah penghargaan oleh individu lainnya.
Pandangan pertukaran sosial bergantung masing-masing pihak dalam sebuah hubungan untuk menghitung batasan hingga dimana individu-individu memandang hubungan sebagai sesuatu yang negatif (pengorbanan) atau positif (penghargaan). Menurut pemikiran pertukaran sosial, selama hubungan berjalan, pasangan secara menilai kemungkinan-kemungkinan didalam hubungan dan juga alternati-alternatif yang dipersepsikan atau nyata dalam sebuah hubungan. Evaluasi ini penting selama komunikator memutuskan apakah proses penetrasi sosial masih diinginkan. Pada bagian selanjutnya, akan diidentifikasi tahap pada proses penetrasi sosial.

Tahapan Proses Penetrasi Sosial
Lihat hubungan antara Cathy dan Barbra, mahasiswa tahun pertama di Universitas Upton, yang secara acak ditempatkan sebagai teman sekamar di Blackstone Hall, sebuah asrama di kampus yang seluruh penghuninya wanita. Keduanya berasal dari daerah negara bagian yang berbeda, Cathy dari kota dan Barbra dibesarkan di daerah pertanian. Mereka memiliki keluarga yang berbeda diamna Cathy adalah anak tunggal dan teman sekamarnya memiliki empat saudara. Mereka hanya bertemu satu sama lain satu kali (pada saat orientasi mahasiswa baru) dan sekarang sedang akan sarapan pagi bersama untuk pertama kalinya.

Orientasi: Membuka Sedikit demi sedikit
Tahap paling awal dari interaksi, disebut sebagai tahap orientasi  (orientation stage), terjadi pada tingkat publik; hanya sedikit mengenai diri kita yang terbuka untuk orang lain. Selama tahapan ini, pernyataan-pernyataan yang dibuat biasanya hanya hal-hal yang klise dan merefleksikan aspek superfisial dari seorang individu. Orang biasanya bertindak sesuai dengan cara yang dianggap baik secara sosial dan berhati-hati untuk tidak melanggar harapan sosial. Selain itu, individu-individu tersenyum manis dan bertindak sopan pada tahapan orientasi.
            Taylor dan Altman (1987) menyatakan bahwa orang cenderung tidak mengevaluasi atau mengkritik selama tahap orientasi. Perilaku ini akan dipersepsikan sebagai ketidakwajaran oleh orang lain dan mungkin akan merusak interaksi selanjutnya. Jika evaluasi terjadi, teoritikus percaya bahwa kondisi itu akan diekspresikan dengan sangat halus. Selain itu, kedua individu secara aktif menghindari setiap konflik sehingga mereka mempunyai kesempatan berikutnya untuk menilai diri mereka masing-masing.
Tahap orientasi dapat dipahami dengan mengamati percakapan antara Cathy dan Barbra selama mereka sarapan:

CATHY : Saya harus mengakui bahwa saya selama ini bertanya-tanya seperti apa teman sekamar saya. Sungguh merupakan hal aneh, kita dipilih oleh komputer dan kita harus hidup bersama selama setahun.
BARBRA : Saya setuju. (keheningan yang membuat canggung)
CATHY : Tetapi, hei, sangat menyenangkan karena kita berdua suka lacrosse, dan mungkin kita berdua bisa menjadi satu tim. Saya rasa kampus ini... ((Barbra memotong)
BARBRA : Saya senang belajar didekat... Maaf. Silahkan kamu teruskan.
CATHY : Tidak, kamu duluan.
BARBRA : Saya tadi ingin mengatakan bahwa saya berharap kita memiliki kesempatan pergi keluar kampus dan pergi kedanau. Sayan sangat senagn belajar didekat air. Saya dulu senang berenang di danau dekat rumah saya. Saya tidak punya waktu di musim panas terakhir ini karena saya terlalu banyak bekerja.
CATHY : Percaya atau tidak, saya tidak tahu caranya berenang! Saya berusaha untuk belajar, tetapi saya tidak pernah bisa.
BARBRA : Hei! Saya seorang perenang yang baik, saya akan mengajarimu kalau kita ada waktu.
CATHY : Bagus!

Seperti yang Anda lihat, kedua wanita ini terlibat dalam perbincangan yang agak superfisial dan kadang kala canggung, dan tidak satu pun dari mereka menilai teman bicaranya. Bahkan, Barbra sebenarnya mempunyai kesempatan untuk mengatakan kepada Cathy bahwa sungguh aneh ia tidak mengetahui bagaimana caranya berenang, tetapi ia memilih tetap bersikap suportif.

Pertukaran Penjajakan Afektif: Munculnya Diri
Dalam tahap orientasi, para interaktan berhati-hati untuk tidak membuka diri terlalu banyak terhadap satu sama lain. Tahap pertukaran penjajakan afektif (exploratory affective exchange stage) merupakan perluasan area publik dari diri dan terjadi ketika aspek-aspek dari kepribadian seorang individu mulai muncul. Apa yang tadinya privat menjadi publik. Para teoritikus mengamati bahwa tahap ini setara dengan hubungan yang kita miliki dengan kenalan dan tetangga yang baik. Seperti tahap-tahap lainnya, tahap ini juga melibatkan perilaku verbal dan nonverbal. Orang mungkin mulai untuk menggunakan beberapa frase yang hanya dapat dimengerti oleh mereka yang terlibat didalam hubungan.
            Terdapat sedikit spontanitas dalam komunikasi karena individu-individu merasa lebih nyaman dengan satu sama lain, dan mereka tidak begitu hati-hatiakan kelepasan berbicara mengenai sesuatu yang nantinya akan mereka sesalkan. Selain itu, lebih banyak perilaku menyentuh dan tampilan afeksi (seperti ekspresi wajah) dapat menjadi bagian dari komunikasi dengan orang satunya. Taylor dan Altman mengatakan kepada kita bahwa banyak hubungan tidak bergerak melebihi tahapan ini.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai sikap pertukaran penjajakan afektif. Ingat kembali Cathy dan Barbra, kali ini pertimbangkan bahwa mereka telah menjadi teman sekamar selama delapan minggu, dan masin-masing mulai memahami kepribadian temannya. Dan seperti teman sekamar lainnya, mereka memutuskan untuk mengambil kelas yang sama dan sedang menyiapkan diri mereka untuk menghadapi ujian sejarah tengah semester ini.

BARBRA : Hey, Cath, kamu pernah dengar  tidak, jenis tes apa yang diberikan Kading (seorang dosen) di kelas?
CATHY : Dipesta klub tadi malam, aku dengar kebanyakan adalah hafalan, dan kita tidak perlu mengingat tanggal-tanggal. Aaaahhh, bisa-bisa aku teriak karena tidak bisa mengingat semua materi dari BAB 3!
BARBRA : Cuek aja..
CATHY : Cuek aja! Gampang buat mahasiswa yang nilainya A sema sepertimu untuk bilang begitu.
BARBRA : Aku baru mau bilang-sebelum dipotong-kalau rasanya ujian psikologiku kacau, dan aku hanya dapat B+. Yah, mungkin saja dia akan mengatrol nilai.
CATHY : Aku tidak bisa mengandalkan katrol nilai. Aku benar-benar tidak nyambung dengan semua yang harus kupelajari. Orang tuaku akan membunuhku kalau aku tidak lulus dalam matakuliah ini.
BARBRA : Makanya, berhenti ngobrol dan mulai belajar.

Jelas sekali, Barbra dan Cathy mulai merasa lebih nyaman berada  didekat satu sama lain. Bahkan, kata-kata “Cuek aja” yang digunakan Barbra menunjukkan penggunaan frase istilah yang disebutkan oleh Altman dan Taylor. Selanjutnya, Cathy secara perlahan-lahan membuka lebih banyak informasi pribadi mengenai harapan orang tuanya dan kemampuannya untuk memahami materi yang diberikan. Tahapan pertukaran penjajakan afektif mereka cenderung suportif, meskipun tingkat kecemasan mereka terkadang memengaruhi mereka.

Pertukaran Afektif: Komitmen dan Kenyamanan
Tahap ini ditandai oleh persahabatan yang dekat dan pasangan yang intim. Tahap pertukaran afektif (affective exchange stage) termasuk interaksi yang lebih “tanpa beban dan santai” dimana komunikasi sering kali berjalan spontan dan individu membuat keputusan yang tepat, sering kali dengan sedikit memberikan perhatian untuk hubungan secara keseluruhan. Tahap pertukaran afektif menggambarkan komitmen lebih lanjut kepada individu lainnya; para interaktan merasa nyaman satu dengan lainnya.
            Tahap ini mencakup nuansa-nuansa hubungan yang membuatnya menjadi unik; senyuman mungkin menggantikan untuk kata “saya mengerti”, atau pandangan yang menusuk diartikan sebagai, “kita bicarakan ini nanti”. Kita mungkin juga menemukan inividu-individu yang menggunakan idiom pribadi  (personal idiom) yang merupakan cara pribadi dalam mengekspresikan sebuah keintiman hubungan melalui kata-kata, frase, atau perilaku. Ekspresi idiomatik - seperti”sweetie” – memiliki makna yang unik untuk dua orang dalam sebuah hubungan. Idiom ini berbeda dari frase istilah pada pertukaran penjajakan afektif karena idiom-idiom biasanya menggambarkan hubungan yang lebih mapan, sedangkan frase istilah mungkin dapat muncul pada setiap titik dalam interaksi awal. Tahapan ini mungkin meliputi beberapa kritik. Seperti yang dikatakan para teoritikus, kritik, ketidakramahan dan ketidaksetujuan mungkin ada “tanpa dianggap sebagai ancaman bagi hubungan secara keseluruhan”.
Kembali ke contoh, Cathy dan Barbra sudah bersama kurang lebih sedikitnya dua belas minggu. Mereka mempunyai banyak kesempatan untuk memahami sejumlah keunikan masing-masing, hidup dengan seseorang seperti membuat orang mampu melakukan hal tersebut. Perbincangan mereka berpusat pada kencan Barbra pada sabtu malam sebelumnya:

BARBRA : Dia sungguh menyebalkan! Yang bisa aku pikirkan sepanjang malam adalah suatu saat akan ada perempuan yang bersamanya! Aku kasihan pada perempuan itu!
CATHY : Tidak mungkin ia seburuk itu.
BARBRA : Oh ya? Ia bilang padaku kalau yang aku lakukan Cuma ngomong dan aku bukan pendengar yang baik. Yang benar saja!
CATHY : Yah, Barb, kalau boleh jujur, kamu memang tidak mendengarkan orang sebanyak kamu bicara.
BARBRA : Maksudnya apa?
CATHY : Aku Cuma mau bilang kalau kadang-kadang aku tidak bisa ngomong sama sekali dalam persahabatan ini. setiap kali aku mau mengatakan sesuatu, yang kamu lakukan adalah membuatku diam.
BARBRA : Menurutku tidak ada orang yang bisa membuatmu diam, Cathy. Dan urusanku adalah urusanku, bukan urusamu.
CATHY : Kalau begitu tidak usah cerita lagi cerita tentang kencan-kencanmu yang mengerikan!
BARBRA : Ya sudah
CATHY : Ya sudah.

Sebagaiman dapat Anda rasakan, tedapat ketegangan-ketegangan dalam hubungan mereka saat ini. Cathy dan Barbra siap menawarkan kritik terhadap diri temannya, dan perkataan mereka terdengar tidak bersahabat. Pertukaran afektif dapat meliputi baik pertukaran positif maupun negatif.

Pertukaran Stabil: Kejujuran Total dan Keintiman
Tahap keempat dan terakhir, pertukaran stabil, dicapai dalam sedikit hubungan. Tahap pertukaran stabil (stable exchange stage) berhubungan dengan pengungkapan pemikiran, perasaan dan perilaku secara terbuka yang mengakibatkan munculnya spontanitas dan keunikan hubungan yang tinggi. Dalam tahap ini, pasangan berada dalam tingkat keintiman tinggi dan sinkron; maksudnya, perilaku-perilaku diantara keduanya kadang kala terjadi kembali, dan pasangan mampu untuk menilai dan menduga perilaku pasangannya dengan cukup akurat. Kadang kala, pasangan mungkin menggoda satu sama lain mengenai suatu topik atau orang lain. Menggoda disini dilakukan dengan cara yang bersahabat.
            Para teoretikus Penetrasi Sosial percaya bahwa terdapat relatif sedikit kesalahan atau kesalahan interpretasi dalam memaknai komnikasi pada tahap ini. Alasan untuk hal ini sangat sederhana; kedua pasangan ini telah mempunyai banyak kesempatan untuk mengklarifikasi setiap ambiguitas yang pernah ada dan mulai untuk membentuk sistem komunikasi pribadinya. Sebagai hasilnya, komunikasi bersifat efisien.
            Tahap penukaran stabil menyatakan bahwa makna yang jelas dan tidak ambigu. Pendekatan tahapan menuju keintiman ini dapat diwarnai dengan letupan-letupan periodik dan perlambatan pada perjalanannya. Selain itu, tahapan-tahapan ini bukan merupakan gambaran yang penuh mengenai proses keintiman. Terdapat sejumlah pengaruh lain, termasuk latar belakang dan nilai-nilai pribadi seseorang serta lingkungan dimana hubungan mereka terjadi. Proses penetrasi sosial adalah sebuah pengalaman memberi dan menerima diamana kedua pasangan berusaha untuk menyeimbangkan kebutuhan individu mereka dengan kebutuhan hubungan.
            Kita kembali kepada contoh mengenai Cathy dan Barbra. Saat ini adalah minggu terakhir ujian semester, dan keduanya jelas-jelas sedang tegang. Akan tetapi, mereka berdua menyadari bahwa minggu ini tidak harus dirumitkan dengan konflik yang tidak penting, dan masing-masing menyadari bahwa setelah minggu ini mereka tidak akan bertemu satu sama lain selama satu tahun.
CATHY : Aku mau keluar ke Anuka’s untuk minum kopi. Kamu mau?
BARBRA : Aku terlalu gelisah sekarang ini. ada teh pengantar tidur aja, tidak? (keduanya tertawa)
CATHY : Menurutmu, kamu siap tidak menghadapi semua ujian minggu ini?
BARBRA : Tidak siap, tapi tidak masalah juga. Orang tuaku tidak terlalu menuntut, dan mereka tahu kalau aku sudah melakukan yang terbaik, dan kamu juga.
CATHY :Yah, kurasa juga begiru.
BARBRA : Kita harus dapat nilai bagus, kalau tidak kita dikeluarkan dari tim
CATHY : Mungkin kita harus mencoa berfikir positif
BARBRA : Mungkin kita bisa telepon hotline cenayang dan menanyakan hasil tes kita (lagi-lagi keduanya tertawa)
CATHY : Terimakasih sudah membuatku tertawa. Aku memerlukannya
BARBRA : Kita pasti akan baik-baik saja.

            Tahap pertukaran stabil menyatakan bahwa makna yang ada jelas dan tidak ambigu. Dialog antara Cathy dan Barbra sangat jelas, dan jika kita melihat baik-baik, kita dapat melihat bahwa keduanya dangat peduli satu sama lain. Komunikasi mereka memeprlihatkan dukungan dan kedekatan. Wanita-wanita ini tampak bersedia untuk memberikan satu sama lain ruang bernafas, dan yang satu terdengar siap untuk membantu lainnya. Meskipun contoh kita sebelumnya menggambarkan sebuah hubungan yang penuh koflik, sekarang terdapat apa yang dikatakan Altman dan Taylor (1973) sebagai keunikan diadik (dyadic uniqueness) atau kualitas hubungan yang berbeda seperti humor da sarkasme.

Etika dan Filsafat Komunikasi



KONFLIK KEPENTINGAN DAN BUDAYA POPULER

A.    KONFLIK KEPENTINGAN
Bila seseorang menerima hibah, uang, honor, gaji dari seseorang/badan, yang tidak mempunyai niat baik dan akan dipakai sebagai alat memperlebar kekuasaan atau niat tidak hormat lainnya, seperti untuk memperoleh keuntungan lebih besar melalui tangan – tangan yang mempunyai kekuasaan birokrasi, maka ini disebut conflict of interest. Konflik kepentingan merupakan isu akuntabilitas.
     Karena komunikasi identik dengan kepentingan, atau karena setiap sistem dan proses komunikasi mengisyaratkan  kepentingan. Tidak sedikit pakar yang berkeyakinan terdapatnya “ideologi” sebagai landasan komunikasi. “Ideologi” komunikasi punya bermacam performance. Performance  “ideologi” komunikasi diuraikan terdahulu, mendorong pakar komunikasi memiliki sikap yang mendua dalam mengkaji proses komunikasi. Artinya, jika terjadi konflik kepentingan sebagai akibat berlangsungnya proses komunikasi tertentu, pakar komunikasi umumnya akan memandang fenomena itu sebagai hal yang biasa terjadi.

B.  PENGERTIAN KONFLIK
     Robbins (1996), dalam “Organization Behavior” menjalaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun negatif. Sedangkan menurut Luthans (1981), konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah, yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.
     Konflik bersumber pada keinginan, maka perbedaaan endapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat hubungannya dengan konflik karena dalam persaingan beberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah menjurus kearah konflik, terutama bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara yang bertantangan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya, orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik. 

C. JENIS-JENIS KONFLIK
            Menurut James A. F. Stoner, dikenal ada lima jenis konflik, yaitu konflik intrapersonal, interpersonal, antar-individu dan kelompok, antar kelompok dan antar organisasi.
            Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus. Dalam proses adaptasi seseorang terhadap lingkungannya sering kali menimbulkan konflik. Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal, yaitu :
a.         Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menarik.
b.         Konflik pendekatan-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama menyulitkan.
c.         Konflik penghindaran-penghindaran, cntohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.

            Konflik interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena pertentangan kepentingan dan keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja, dan lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan memenuhi proses pencapaian tujuan organisasi tersebut.
 Konflik antar-individu dan kelompok  seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konfirmitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka. Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama merupakan tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasi-organisasi. Konflik antar lini dan staf, pekerja dan pekerja-manajemen merupakan dua macam bidang konflik antar kelompok. Sedangkan, seperti dibidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara lain dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan persaingan atau  konflik antara organisasi.

D. PENGERTIAN KONFLIK KEPENTINGAN
Menurut Wikipedia, konflik kepentingan adalah suatu keadaan sewaktu seseorang pada posisi yang memerlukan kepercayaan, seperti pengacara, politikus, eksekutif atau direktur suatu perusahaan. Konflik kepentingan menyebabkan benturan antara loyalitas profesional dan kepentingan lain yang akan mengurangi kredibilitas agen moral. Konflik kepentingan akan mendorong kita untuk berbuat tidak jujur dan tidak adil. Misalnya, seseorang menteri yang menangani kasus kenaikan harga kedelai tentu akan mengalami konflik kepentingan jika pada saat yang sama ia adalah pemilik dari perusahaan pengimpor sembako, begitu juga jurnalis yang melakukan investigasi korupsi akan menghadapi dilema kepentingan jika kemudian salah satu keluarganya ternyata terlibat korupsi tersebut.
Jeffrer Olen dalam bukunya Ethics in Journalism malah mengatakan bahwa adopsi media soal peraturan-peraturan untuk menghilangkan konflik kepentingan adalah bukan hanya untk memaksimalkan jangkauan audiens, tapi jurnalis memang secara mendasar memiliki kewajiban moral untuk dapat dipercaya.
Salah satu problem utama dalam menghilangkan konflik kepentingan adalah keterlibatan struktur pada level tinggi. Avin day mencontohkan pada media, konflik kepentingan justru muncul dari perusahaan besar yang notabene adalah pengiklan di media yang bersangkutan ketika perusahaan tersebut menjadi subjek media.

E.  SUMBER KONFLIK KEPENTINGAN
Jika kita ingin menghindari konflik atau paling tidak menguranginya, maka kita harus mengetahui sumber konflik kepentingan. Riset menunjukan bahwa konflik mempunyai beberapa penyebab, dan secara umum dapat dibagi kedalam tiga kategori : perbedaan komunikasi, struktural, dan kepribadian.
Perbedaan komunikasi adalah perselisihan yang timbul dari kesulitan semantik, kesalahpahaman bahasa, diskomunikasi, atau juga comuncation-overload. Orang-orang sering berasumsi bahwa kebanyakan konflik disebabkan oleh ketiadaan komunikasi, tetapi seorang penulis mencatat, ada kecenderungan bahwa komunikasi yang berlebihan sering justru akan mengakibatkan konflik.
Sumber yang kedua adalah karena adanya perbedaan struktural. Setiap organisasi perusahaan pasti memiliki struktur, baik secara horizontal maupun vertikal. Perbedaan struktural ini acap kali menciptakan masalah pengintegrasian dan ujung-ujungnya mengakibatkan terjadinya konflik kepentingan. Konflik ini muncul dari struktur organisasi itu sendiri. Sumber konflik yang ketiga adalah adanya perbedaan kepribadian. Faktor-faktor seperti perbedaan latar-belakang, pendidikan, dan pengalaman, membentuk masing-masing individu kedalam suatu kepribadian yang unik. Dalam kacamata komunikasi, sumber konflik kepentingan yang utama adalah:
Hubungan yang menimbulkan konflik (conflicting relationships), tentu sulit bagi seseorang untuk mengabdi pada dua tuan. Inilah yang terjadi bila memiliki dua hubungan yang sama-sama memerlukan loyalitas serupa. Independensi kita akan menjadi terbatas. Agen iklan atau praktisi PR misalnya, tugas utamanya adalah terhadap klien. Namun, jika terjadi konflik kepentingan, maka pelayanan kepada klien tersebut menjadi terbatas. Contohnya, ketika perusahaan PR menangani klien dari perusahaan perminyakan, namun pada saat yang sama ia juga memiliki klien dari organisasi pelestarian lingkungan. Tentu hal ini akan menimbulkan konflik kepentingan.
Pemberian dan hadiah (gifts and perks), praktisi komunikasi bertanggung jawab terhadap audiensnya, dan jika ia menerima hadiah, cendera mata dan pemberian lain yang mengandung kepentingan tersembunyi (vested interests), maka hal tersebut akan memunculkan keraguan terhadap obyektivitas praktisi komunikasi tersebut.
Checkbook Journalism, terjadi ketika media membayar narasumber, sehingga media yang bersangkutan akan memperoleh hak eksklusif untuk menampilkan narasumber tersebut. Checkbook jurnalism menjadi sorotan etis karena terjadi pertentangan konflik, sebagai akibat adanya kendali dari pihak tertentu (narasumber) dalam tampilan pesan.
Hubungan personal, bagaimanapun praktisi komunikasi juga manusia yang niscaya mengembangkan hubungan sosial, tak terkecuali dengan klien. Maka akan sulit  jika kemusian ia harus mengkomunikasikan pesan yang bersinggungan dengan seseorang yang memiliki hubungan personal. Maka, dalam konteks ini bisa dipahami bahwa sejumlah organisasi/perusahaan menerapkan larangan adanya kedekatan famili diantara karyawan.
Partisipasi publik, dilema konflik kepentingan juga muncul dari kenyataan bahwa praktisi komunikasi juga bagian dari publik secara umum. Dengan demikian, ada interaksi antara dirinya dengan masyarakat dimana ia berada.

F.   MEDIA DAN KONFLIK KEPENTINGAN
            Konflik kepentingan pada media terkait dua pihak, yakni penguasa dan pengusaha. Media yang berafiliasi atau dimiliki oleh pengusaha atau pejabat tertentu pasti memiliki konflik kepentingan, yakni apakah akan berpihak kepada publik ataukah berpihak pada penguasa/pengusaha yang notabene sebagai pemilik. Jika media massa dibiarkan menjadi aparatus kekuatan sosial-politik, maka seluruh materi pelayanannya akan senantiasa harus dikonfirmasikan terlebih dahulu dengan berbagai interest politik dari politik yang bersangkutan. Akibatnya, keunggulan media tersebut akan bersifat subordinated dengan pamrih politik. padahal, antara keduanya secara hakiki sangat berbeda.
            Pelayanan media massa bersifat sosial, bukan politik. Sebaliknya, pelayanan politik bersifat politik, bukan sosial. Bila pelayanan media bersifat politik, maka muatan politik didalamnya hanyalah berfungsi sebagai variabel  antara. Artinya, pembentukan atau perubahan kognisi, afeksi maupun konasi politik lewat media massa, tidak dengan sendirinya terealisasi, kecuali setelah melampaui berbagai proses sosial. Sebaliknya, jika media massa terperangkap oleh kepentingan politik praktis, kinerjanya akan lebih bersifat monoton. Ini disebabkan, karena terlalu dominannya misi politik, yang dipikulkan dipundak media.
            Disisi lain, media massa yang tidak menjadi aparatus politik, akan lebih mampu memenuhi dan menciptakan selera publiknya. Tak lain karena beban politik praktis yang dipikulnya, nyaris sangat kurang, kalau tidak boleh dibilang nihil.
Pengalaman menunjukkan, media yang terlampau dibebani berbagai misi politik, mengakibatkan kreativitas pelayanannya terkooptasi oleh berbagai kepentingan diluar kerangka profesionalismenya. Misi politik dalam kebijakan redaksi, ataupun yang terkait pada pola dan format siaran media massa cetak serta elektronik, akan mempersulit pengelolaan media yang bersangkutan dengan gaya santai, dalam arti tidak membutuhkan berbagai analisis persepsional serius, sebagaimana kecenderungan keinginan rata-rata publiknya.
Fenomena konglomerasi industri media merupakan krisis lain dari demokratisasi media yang bisa melemahkan fungsi kontrol media dalam upaya membangun masyarakat mandiri karena berkembang biaknya bisnis industri pers rawan menimbulkan konflik kepentingan. Karena media tidak lagi kritis, maka semakin sedikit kepentingan publik yang diangkat oleh media massa “mainstream”. Padahal, pers harus meningkatkan fungsi kontrol sosialnya, agar penyimpangan-penyimpangan yang merugikan rakyat tidak terjadi lagi
Ashadi Siregar mengatakan bahwa keberadaan media massa perlu dilihat dalam konteks epistemologis, dengan melihat jurnalisme sebagai suatu susunan pengetahuan dalam menghadapi realitas sosial. Dengan adanya jurnaisme, maka dikenal media jurnalisme yang dapat dibedakan dengan genre media massa lainnya. Media massa jurnalisme mengutamakan informasi faktual berkonteks kehidupa publk, berbeda dengan media massa hiburan yang mengutamakan informasi fiksional berkonteks kehidupan privat.
Ashadi mengatakan orientasi jurnalisme pada dasarnya bertolak dari dua sisi, pertama bersifat teknis berkaitan dengan stadar  kelayakan berita (newsworthy), dan kedu abersifat etis dengan standar normatif dalam menghadapi fakta-fakta. Hal pertama merupakan resultan dari dorongan kepentingan pragmatis khalayak dan pengelola media. Kepentingan pragmatis khalayak dapat bersifat sosial ataupun psikis. Sementara media dapat mewujud dalam kaitan politis dan ekonomis.
Dengan kepentingan pragmatis pengelola media, berakibat pada dinamika media jurnalisme yang tidak menjalankan fungsi impretatif bagi publiknya, melainkan bertolak dari kecenderungan subyektifnya sendiri maupun kepentingan subyektif pihak lain yang bukan khalayaknya. Dengan kata lain, media tidak menjalankan fungdi impretatif sosial, tetapi menjalankan fungsi organik dari institusi lainnya, seperti institusi politik dan bisnis. kepentingan media dilihat melalui orientasinya, untuk itu dapat dihipotesikan, yaitu dengan menjalankan orientasi sosial, maka fungsi imperatif media jurnalisme akan tinggi, sebaliknya fungsi imperatif ini menjadi rendah jika media menjalankan orientasi ekonomi-politik. kebijakan dengan orientasi sosial akan melahirkan kecenderungan obyektivikasi untuk mencapai obyektivitas informasi, sedangkan dalam orientasi ekonomi-politik dalam proses komodifikasi yang menghasilkan komoditas ekonomi (bisnis)ataupun politik .

G.   PENDEKATAN TERHADAP KONFLIK KEPENTINGAN
            Menurut Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam penanganan konflik, yakni :
            Berkompetisi,  tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan sendiri diatas kepentingan pihak lain. Pillihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan-bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) diatas kepentingan bawahan.
            Menghindari konflik, tindakan ini dlakukan jika salah satu pihak menghidari dari situasi tersebut secara fisik maupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik yang terjadi. Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana, membekukan konflik sementara.
            Akomodasi, yaitu jika mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubugan baik menjadi hal yang utama disini.
            Kompromi, tindakan ini dapat dilakukan jika kedua belah pihak merasa bahwa kedua hal tersebut sama-sama penting dan hubungan baik menjadi utama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya.
            Berkolaborasi, menciptakan situasi menang-menang dengan saling bekerja sama. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan dan hubungan antarpribadi menjadi hal yang harus kita pertimbangkan.
           
          Louis Alvin Day (1996:162), menyodorkan tiga pendekatan untuk mengatasi konflik kepentingan, yakni :
1.      Penetapan tujuan sedemikian rupa sehingga konflik kepentingan bisa dicegah. Konflik mesti dicegah dengan menjadikan tugas (duty based) sebagai koridor tingkah laku praktisi komunikasi.
2.      Jika konflik tidak dapat diantisipasi, setiap upaya hanya harus dikerahkan untuk mengatasi konflik.
3.      Jika konflik kepentingan tidak bisa dicegah, maka publik atau klien harus mengetahui akan adanya konflik tersebut. Konsultan PR yang menangani klien dua organisasi yang bersebrangan misalnya, harus memberi tahu kepada kedua klien tersebut tentang adanya konflik kepentingan dimaksud. Dengan demikian, akan dicari langkah-langkah produksi pesan yang menguntungkan kedua klien tersebut.

Karenanya, untuk mengantisispasi agar konflik tidak terjadi lagi, kita perlu melakukan hal-hal sebagai berikut :
1.  Introspeksi, yakni bagaimana kita biasanya menghadapi konflik, gaya apa saja yang biasa digunakan, apa saja yang menjadi dasar dan persepsi kita.
2.     Mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat. Kita dapat mengidentifikasi kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai dan sikap mereka atas konflik tersebut dan apa perasaan mereka atas terjadinya konflik. Kesempatan kita untuk suskses, dalam menangani konflik semakin besar jika kita melihat konflik yang terjadi dari semua sudut pandang.
3.   Identifikasi sumber konflik. Sumber konflik sebaiknya dapat teridentifikasi sehingga sasaran penanganannya lebih terarah kepada sebab konflik.
4.      Mengetahui pilihan penyesuaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih yang tepat.